18 Jul 2010

Siapa Pelaksana Jaminan Sosial

Undang-undang mengenai jaminan sosial sudah dikeluarkan, yaitu UU Nomor 40 Tahun 2004. Jaminan sosial yang akan diterima oleh masyarakat, menurut undang-undang ini, adalah jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian. Memang sangat ideal.
Seandainya UU ini dapat dilaksanakan sepenuhnya, rakyat Indonesia tak perlu khawatir tidak akan dapat membayar biaya pengobatan kalau ia sakit. Ia akan mendapat dana tunai ketika memasuki usia tua, menerima santunan kalau mengalami kecelakaan, dan sebagainya. Kalaupun belum dapat sepenuhnya dilaksanakan, seandainya jaminan kesehatan saja yang didahulukan, UU ini sudah akan sangat menolong. Sekarang ini yang paling terasa mendesak dirasakan rakyat adalah jaminan kesehatan.
Dengan dilaksanakannya jaminan kesehatan sesuai dengan UU itu, kelak tak ada lagi pasien disandera rumah sakit karena tak sanggup bayar. Tak perlu lagi orang menjual harta benda atau berutang untuk biaya pengobatan. UU ini memang membahas jaminan kesehatan secara lebih panjang lebar dibandingkan dengan jaminan lainnya.
Tidak wajibBerbeda dengan negara lain yang sudah melaksanakan sistem jaminan sosial, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Indonesia tidak mewajibkan setiap penduduk Indonesia menjadi peserta sistem jaminan ini. Ini merupakan celah kelemahannya. Pegawai negeri, pegawai swasta, dan pekerja formal lainnya memang wajib ikut dalam sistem ini. Mereka membayar iuran kepada sistem ini yang dipotong dari gajinya. Orang miskin juga membayar iuran yang dibayarkan oleh negara. Namun, pekerja lepas, pekerja mandiri, termasuk nelayan dan petani, atau yang tidak bekerja, tidak diwajibkan. Mereka masih harus membiayai sendiri secara langsung kalau sakit atau mengalami kecelakaan. Jumlah mereka cukup besar yang, jika tidak disertakan, dapat menimbulkan masalah tersendiri.
Pada negara lain yang melaksanakan SJSN, undang-undangnya sejak awal menyatakan bahwa setiap orang wajib ikut sistem ini meski pelaksanaannya dilakukan bertahap seperti Jerman pada masa Bismarck, Yugoslavia, sebelum pecah, Singapura, dan Belanda. Memang masih akan tetap ada kelompok yang belum tercakup, seperti pencari suaka dan imigran di Belanda karena Belanda terkenal sebagai penampung ”baik hati” bagi kelompok ini. Di Indonesia mungkin kelompok yang terpencil atau terasing akan menjadi kantong-kantong yang tak tercakup. Untuk mereka, iuran seharusnya dibayar oleh negara sehingga mereka juga berhak menikmati jaminan sosial ini.
Badan penyelenggaraPertanyaan berikutnya adalah siapa yang akan ditugasi menyelenggarakan jaminan sosial ini. UU SJSN menyatakan bahwa Jamsostek, Asabri, Taspen, dan Askes ditunjuk sebagai badan penyelenggara SJSN. Di sisi lain, Pasal 5 Ayat 4 menyatakan bahwa ”dalam hal diperlukan” dapat dibentuk badan penyelenggara baru melalui undang-undang. Saat ini DPR sedang bersiap membahas RUU tentang Badan Penyelenggara SJSN ini. Tak jelas apakah RUU ini hanya akan mengukuhkan keempat BUMN tadi atau karena ada ”hal diperlukan” akan membentuk badan baru di luar yang empat tadi.
Pasal 5 mungkin dulu merupakan hasil kompromi tarik-menarik di antara pihak-pihak yang berkepentingan sehingga terkesan mendua. Di satu sisi mengesahkan empat BUMN sebagai penyelenggara, di sisi lain ingin membentuk badan yang baru. Di negara lain tarik-menarik semacam itu tidak terjadi, kecuali mungkin di AS yang liberal. Di Inggris hanya ada satu badan penyelenggara, yaitu National Health System (NHS). Di Belanda juga hanya satu, yaitu Ziekenfonds, yang berada di bawah pengawasan Dewan Asuransi Kesehatan Sosial Di Jerman ada satu, yaitu Krankenkassen, serta di Singapura ada Central Provident Fund (CPF).
Indonesia sebaiknya juga hanya mempunyai satu badan penyelenggara jaminan sosial. Jika ada lebih dari satu, akan terjadi inefisiensi, kompetisi yang tidak sehat, serta mempersulit pengawasan. Apalagi dalam UU SJSN disebutkan bahwa keempat BUMN tadi boleh memperluas cakupan dan kepesertaan (penjelasan Pasal 5 Ayat 4), kemungkinan tumpang tindih dan persaingan lahan akan mudah terjadi. Pada ujungnya ini tidak menguntungkan peserta.
Bagi penyedia layanan, seperti rumah sakit dan dokter, melakukan hubungan kerja dengan satu badan penyelenggara juga akan lebih mudah dibandingkan dengan lebih dari satu badan. Karena badan ini bukan berupa BUMN, sebaiknya ia berada langsung di bawah Presiden. Kalau berupa BUMN, ia akan harus mengikuti ketentuan dalam UU BUMN termasuk sifat for-profit dan kesempatan memanfaatkan dananya untuk investasi di bidang lain.
Salah satu tugas berat bagi badan ini adalah mengajak agar semua penduduk, termasuk mereka yang bukan pekerja formal, agar menjadi peserta SJSN. Tidak hanya meyakinkan mereka agar ikut, tetapi juga harus memikirkan mekanisme pengumpulan iuran dari mereka. Yugoslavia (sebelum pecah) menganut pola Inggris: setiap orang diwajibkan ikut jaminan sosial dan iuran diambil dari pajak mereka. Namun, sebagai negara komunis, semua perusahaan praktis milik negara. Tak ada perorangan pemilik pabrik sehingga iuran tidak dapat dikumpulkan melalui pajak atau majikan. Jadi, bagi buruh industri, iuran mereka sebagian dibayar negara dan sebagian dibayar dari potongan upah buruh. Tahap berikutnya dikenakan pada petani. Mereka diharuskan ikut koperasi petani dan iuran ditarik melalui koperasi. Demikian pula untuk pekerja mandiri, ada koperasi mereka.
Kalau mekanisme seperti itu diterapkan bagi pekerja lepas dan mandiri di Indonesia, diperlukan kerja keras karena citra koperasi di Indonesia sudah telanjur tidak baik. Diperlukan upaya ekstra untuk membangun kepercayaan rakyat terhadap koperasi, dan juga terhadap badan penyelenggara jaminan sosial. Bagi badan penyelenggara jaminan sosial, perluasan cakupan peserta ke kelompok pekerja nonformal merupakan ”tugas suci” agar seluruh rakyat dapat menikmati jaminan sosial.
Badan pengawasPasal 51 UU SJSN menyatakan bahwa pengawasan terhadap pengelolaan keuangan badan penyelenggara jaminan sosial dilakukan oleh instansi yang berwenang. Namun, bagi sebuah badan penyelenggara jaminan sosial yang memberikan pelayanan kepada peserta, yang harus diawasi bukan hanya pengelolaan keuangan. Juga hal di luar itu.
Efisiensi, keefektifan, pemerataan, perlakuan yang adil bagi peserta, dan mutu layanan juga perlu diawasi. Oleh karena itu, di banyak negara pengawasan dilakukan oleh lembaga lain yang dibentuk berdasarkan UU dan terdiri dari bukan hanya wakil pemerintah (terutama mengenai keuangan), tetapi juga dari kalangan akademisi, kelompok profesi, dan wakil dari pembayar iuran (konsumen). Mungkin dalam membahas UU tentang badan penyelenggara nanti, DPR perlu juga memikirkan hal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bidvestiser

About

tuker link yuk

link sahabat

Pengikut